Pendidikan dan Pola Hidup di Pesantren
Pendidikan dan Pola Hidup di Pesantren – Pendidikan merupakan salah satu dimensi terpenting dalam kehidupan manusia, sebab pada dasarnya pendidikan adalah ikhtiar transformasi yang dilakukan secara sadar, sistematis, dan termanajemen guna membentuk karakter manusia yang bersendikan tradisi dan akhlak al-karimah demi kehidupan yang baik dan sejahtera.
Di pesantren sendiri, tradisi menjadi landasan pijak pendidikan utama sebagai bentuk komitmen kultural kepada bangsa, selain juga akhlak al-karimah sebagai penuntun agar setiap upaya transformasi dalam pendidikan berjalan sesuai dengan rel yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan hadits. Keduanya, baik tradisi dan akhlak al-karimah bagaimanapun akan sangat mempengaruhi pola hidup manusia secara individu maupun sosial.
Merupakan suatu keunikan tersendiri, jika pesantren hingga saat ini tetap survive di tengah gejolak modernisasi dan globalisasi sekalipun. Lembaga pendidikan yang kerap distigmatisasi ‘tradisional’ ini, telah menunjukkan eksistensinya, bahwa ia tetap istiqamah dengan tradisionalismenya, tanpa kehilangan iklusivitas dan kontekstualitas.
Betapa tidak, di tengah kondisi bangsa dengan realitas pendidikan dan pola hidup masyarakatnya yang carut marut, kita akan lengah saat melihat realitas pendidikan yang mengemuka penuh dengan perilaku destruktif-amoralitas yang pada akhirnya berimbas pada pola hidup koruptif dan manipulatif para elit pejabat yang mengakar sampai masyarakat alit pada umumnya. Di sinilah letaknya, betapa saat ini kita butuh penyegaran dan perbaikan agar gejala distorsif tersebut tidak mewabah dan menjalar semakin parah.
Transformasi Pendidikan Pesantren
Sebagaimana kita ketahui, pesantren pada awal mulanya merupakan lembaga pendidikan yang concern pada pendidikan keagamaan (tafaqquh fi al-din) sebagai bentuk keterpangigilan hati betapa pendidikan itu penting di atas kepentingan apapun. Pesantren sadar betul pentingnya mengedepankan pendidikan selain merupakan satu bentuk kebertahanan dan perlawanan atas penjajahan kolonial saat itu, juga untuk menyongsong kemajuan dalam menatap masa depan bangsa dan agama.
Proses pendidikan di pesantren berjalan langsung 24 jam. Interaksi antara kiai, ustadz, dan santri berjalan sedemikian intens. Interaksi dalam pendidikan tersebut dibangun atas fondasi tradisi dan akhlak al-karimah. Saling hormat-menghormati, kesederhanaan, keikhlasan, dan ketawadluan. Untuk mewadahi minat dan bakat para santri, pesantren juga memfasilitasi mereka dengan beragam ekstrakurikuler, beberapa di antaranya seni baca al-Qur’an (qira’ah), seni kaligrafi, seni bela diri, seni sastra, dan lain sejenisnya.
Pola Hidup di Pesantren
Bila kita cermati dengan seksama, paradigma dan tradisi pendidikan di pesantren itulah yang mengantarkan pesantren memiliki pola hidup tersendiri yang unik. Adalah tradisi pesantren, mengembangkan sistem hubungan antara guru dan murid yang berlangsung seumur hidup baik bagi kiai maupun santri. Perasaan hormat dan kepatuhan murid kepada gurunya berlaku dan tidak kenal putus.
Di pesantren, para santri dididik menjadi pribadi mandiri. Memenuhi segala kebutuhan dan keperluannya dengan tanpa dilayani. Di satu sisi mereka mesti disiplin belajar, dan di sisi lain mereka juga mesti mencuci pakaian, memasak, menyapu, dan lain sejenisnya dengan tangan sendiri. Begitu juga misalkan, ketika satu di antara mereka ada yang sakit atau ada yang telat dikirimi bekal oleh orang tuanya, para santri akan sigap membantu.
Dalam disiplin belajar, para santri dibiasakan bangun dini hari untuk membiasakan shalat malam. Seusai mendirikan shalat malam, biasanya para santri nderes pelajaran. Mereka meyakini bahwa belajar seusai shalat malam dapat menjernihkan pikiran untuk menyerap pelajaran secara optimal. Padahal, para kiai dan utadz tidak pernah mewajibkan para santri untuk bangun shalat malam, tetapi kesadaran itu tumbuh dengan sendiri akibat kebiasaan yang melekat. Selanjutnya, menjelang shalat shubuh berjama’ah ada tradisi meng-gobrek yakni membangunkan para santri sebagai antisipasi bagi sebagian dari mereka yang masih tertidur. Ba’da shubuh dilanjutkan dengan pengajian, ada yang mengaji al-Qur’an maupun kitab kuning yang disajikan dengan metode sorogan atau bandungan. Demikian seterusnya setiap ba’da maktubah para santri mengaji, di samping belajar di lembaga pendidikan formal.
Sementara disiplin pribadi dalam keperluan per individu seperti mencuci pakaian, memasak, menyapu, dan lain sejenisnya juga teratur sedemikian rupa. Misalnya, untuk mencuci pakaian biasanya para santri melakukannya di hari libur; hari Jum’at atau Minggu. Memasak, sampai saat ini masih banyak ditemukan santri yang mempertahankan tradisi memasak (ala santri) yang biasa disebut jami’iyah-an atau mayoran, dan untuk kegiatan menyapu halaman sebagai salah satu bentuk dari kegiatan kebersihan di pesantren diatur dengan jadwal piket. Bahkan dalam waktu seminggu sekali, seluruh civitas pesantren; kiai, ustadz, dan santri berbaur melakukan ro’an, yakni tradisi membersihkan lingkungan pesantren secara bersama-sama.
Demikian sekelumit dari sedemikian unik adanya transformasi pendidikan dan pola hidup di pesantren, meskipun hanya bermodalkan sarung, peci, kitab kuning, dan kesederhanaan. Tetapi insya Allah, dengan itu semua pesantren sejak zaman kolonial hingga kini mempunyai komitmen tinggi kepada bangsanya. Untuk senantiasa berbaris di garda terdepan dalam membentengi bangsa dan agama dari berbagai ancaman dan permasalahan. Tidaklah berlebihan kiranya, jika inilah bentuk konkrit dari—apa yang disebut sebagai konsep ‘shalih’ dan ‘akram’ ala Kiai Sahal—sebagai manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna, dan terampil dalam kaitannya dengan kehidupan sesama makhluk dan mencapai kelebihan manusia sebagai makhluk terhadap khaliq-Nya, untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Aamiin. Wallahu’alam bi al-Shawab.
Leave a Reply