Mengajak Anak Berpuasa, Jangan Gunakan Paksaan dan Hukuman
Mengenalkan puasa kepada anak bisa dilakukan sejak dini, sejak anak usia balita. Di masa ini, anak bisa diikutsertakan dalam berbagai kegiatan puasa. Seperti bangun sahur, menyiapkan sajian untuk berbuka, dan ikut larut dalam kegembiraan berbuka puasa.
Mengajak anak berpuasa sebenarnya mudah. Menurut Dwi Susilawati MA, psikolog RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, anak itu peniru ulung. Jadi orang tua hendaknya memberi contoh perbuatan, sehingga anak akan mengikuti dengan riang.
Seperti apakah cara terbaik mengajak anak berpuasa? Simak tips berikut ini.
1. Beri teladan yang baik
Karena anak peniru ulung, maka hendaknya lingkungan di sekitar anak bisa memberi contoh teladan yang baik dari waktu ke waktu. Orang tua terutama, bisa mencontohkan beribadah puasa jika ingin mengajak anaknya ikut serta berpuasa. Orang tua di sini haruslah lengkap, yaitu ayah dan ibu. Jangan hanya si ibu saja yang memberi contoh dan si ayah lalai, atau justru sebaliknya. “Ibu dan ayah haruslah konsisten, kompak. Jangan satunya memberi contoh, namun satunya tidak. Nanti anak akan bingung dan bisa memilih yang tidak melakukan puasa,”
- Ajak bertahap
Karena kemampuan kognitif dan ketahanan tubuh anak berbeda-beda tergantung usianya, maka sebaiknya ajakan berpuasa ini dilakukan secara bertahap.
Untuk anak di bawah 7 tahun, Anda bisa menggunakan reward untuk mengajak anak andil dalam kegiatan puasa. Itu pun, jangan memaksa anak untuk menunaikan puasa layaknya orang dewasa selama kurang lebih 12 jam lamanya. Semisal, ajak anak untuk berpuasa selama 2 atau 3 jam terlebih dahulu. Jika anak mampu memenuhi target, Anda bisa memberinya reward barang-barang kesukaannya, sesuai kemampuan finansial masing-masing. Di usia 7 tahun, kemampuan kognitif atau kemampuan berpikir anak sudah lebih matang. Di usia ini Anda mulai bisa memasukkan nilai-nilai religi dan kesehatan tentang mengapa puasa sebaiknya dilakukan. Di usia ini, mulai pula memotivasi anak secara internal ketimbang memberinya reward berupa materi. “Semisal ketika anak berhasil berpuasa selama 6 jam atau puasa setengah hari, orang tua bisa memberi pujian dengan mengatakan bahwa anak hebat dan pintar. Motivasi internal akan membangkitkan kepuasan diri, dan bisa mendongkrak niat anak dari dalam diri sendiri.”
- Gunakan ajakan positif dan hindari kalimat negatif
Penyusunan kalimat bisa mempengaruhi kondisi psikologis anak. “Daripada mengatakan, ‘Sayang jangan makan dan minum selama 6 jam ya,’ lebih baik menggunakan kalimat, ‘Sayang, makannya ditunda sampai tengah hari ya.’ Kalimat positif lebih bisa membangkitkan energi yang positif juga,” papar Dwi. Hal ini seperti ketika dokter mengeluarkan pantangan makanan ini itu, pasti efek yang dirasakan pasien adalah ia akan merasa tersiksa karena hidupnya seperti diberi batas. Namun dengan memberi solusi lebih baik mengonsumsi sajian A daripada mengonsumsi sajian B, maka psikologis pasien akan lebih tertarik untuk menuruti saran dari dokter dengan kesadaran diri sendiri.
- Atasi tantrum anak dengan sabar
Yang biasa terjadi adalah anak akan menolak bangun sahur lantaran terdera kantuk. Semakin dipaksa, anak justru akan semakin menolak dan lahirlah tantrum.
Menghadapi kondisi demikian, orang tua harus bersabar. Jangan memaksa anak dan mengancam memberi hukuman karena cara itu tak akan berhasil. Semisal anak mau bangun pun, karena ia merasa terancam. “Imbasnya, anak tak akan mengikuti puasa dengan hati yang gembira. Ketika ia tak kuat menahan lapar dan minum ia bisa minum secara sembunyi-sembunyi alias berbohong karena takut terkena hukuman.” Jadi ketika anak tantrum, bangunkan anak secara bertahap 5 atau 10 menit sekali. Atau ajak anak untuk pindah tidur, dari kasur ke meja makan. Dengan cara bergerak, anak akan makin terjaga dan bisa fokus untuk menyantap sajian sahur.
- Jangan ada paksaan dan pembandingan
Intinya, ketika mengajak anak melakukan sesuatu termasuk puasa, jangan pernah ada paksaan, hukuman atau pembandingan. “Jangan pernah membandingkan anak dengan anak yang lain. Karena hal ini akan menurunkan kepercayaan dirinya dan menganggu psikologisnya.” Jika harus membandingkan, bandingkan anak dengan dirinya sendiri. Semisal di puasa tahun lalu anak bisa berpuasa sebulan penuh, orang tua bisa menanyakan mengapa di tahun ini anak malas-malasan.
Leave a Reply