Menyeimbangkan Ilmu dan Adab
Menyeimbangkan Ilmu dan Adab – Pendidikan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan manusia di muka bumi. Karena, manusia tercipta memiliki dua amanah yang besar, yaitu Pertama, Sebagai ‘abd Allah (Hamba Allah) yang mempunyai serentetan tugas dan amanah yang harus diembannya untuk melaksanakan apa yang menjadi perintah Tuhan-Nya. Kedua, Manusia sebagai Khalifah Allah (Pengganti atau wakil Allah) yang mana memilliki serangkaian pekerjaan dalam rangka manjadi khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, Manusia tentu mempunyai cita-cita untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
ليس اليتيم الذي قد مات والده بل اليتيم يتيم العلم والأدب
Artinya: “Yatim itu bukan yang telah meninggal orang tuanya, tetapi Yatim sebenarnya itu adalah Yatim Ilmu dan Budi Pekertinya.”
Ketika seseorang mendapatkan ilmu baru dalam belajarnya, maka ia merasa ilmu yang dimilikinya sudah cukup dan tidak lagi mempelajari adab. Tetapi kenyataannya itu hanya sebagai fiktif belaka. Mengapa?
Dalam riwayat Imam Malik r.a pernah berkata kepada seorang pemuda Quraisy.
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu”
Pada riwayat ini menjelaskan betapa pentingnya adab sebelum mempelajari ilmu. Karena, antara Adab dan Ilmu terdapat hubungan yang sangat erat dalam artian keduanya dengan satu hal sama yaitu Nilai-nilai. Belajar dan mencari ilmu terus-menerus tapi tidak dengan belajar adab. Berarti ia hanya mendapatkan seperempat dari kenikmatan Allah yang telah diberikannya.
« Bila Kamu Tak Tahan Penatnya Belajar, Maka Kamu Akan Menanggung Perihnya Kebodohan » -Imam Asy-Syafi’i-
Menyeimbangkan Ilmu dan Adab – Generasi islami, generasi juara. Sudah bukan zamannya islam masih terpuruk dalam benaman sejarah suram yang mengubur umatnya menjadi umat yang lemah. Lemah intelektualitasnya, lemah fisiknya, lemah akhlak karimahnya, lemah dalam adab sopan santunnya. Saatnya bangkit mulai sejak usia dini belajar mendidik dalam proses keilmuan dan adab. Karena memang kita tercipta sebagai sang juara khalifah bumi.
Menyeimbangkan Ilmu dan Adab – Dalam perjalanan hidup, bermacam-macam kesuksesan seseorang yang kita menjumpai. Ada yang sukses dengan kekayaan, ada yang diberikan sukses dengan akhlak dan adab yang baik. Tetapi untuk meraih sukes, kita harus menjauhi watak-watak berbahaya yang tanpa kita sadari telah menghambat jalan kita dalam meraih keberhasilan di masa depan, seperti Sombong dalam mendapatkan ilmu, iri dan dengki, dan adab yang buruk.
Dari Abu Darda’ r.a mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada suatu amal perbuatan pun dalam timbangan yang lebih baik daripada akhlak yang baik.”
Syaikh Sholeh Al’Ushoimi berkata, ‘Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, amka ilmu akan disia-siakan.’
Para ulama terdahulu jika mereka dalam pertemuan majelis, mereka lebih mendahulukan adab daripada ilmu. Ulama belajar masalah adab selama 30 tahun sedangkan mempelajari ilmu selama 20 tahun.
Jadilah pribadi yang rendah hati dan siap dalam menampung beragam ilmu apapun dan dari siapapun. Muliakanlah dalam beradab, niscaya ilmu akan mengikutinya. Pribadi yang melihat sisi positif dari beragam peristiwa yang dialami. Sehingga semua kejadian menjdi hikmah yang bisa dijadikan bekal untuk masa depan.
Salah satu aspek penting yang mendapat perhatian utama dalam Islam adalah akhlak. Islam memang memuliakan orang-orang yang berilmu, bahkan mewajibkan semua penganut ajaran Islam untuk menuntut ilmu seperti disampaikan dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Majah; “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap Muslim (baik perempuan maupun laki-laki),” namun Islam juga mensyaratkan akhlak untuk kesempurnaan ilmu.
Dalam Syarhul Hilyah Fii Thalabul Ilmi, syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, orang yang menuntut ilmu wajib menghiasi dirinya dengan akhlak, sebab tanpa akhlak, ilmu yang didapat tak akan memiliki faedah sama sekali. Kepandaian dalam bidang keilmuan tertentu tak akan bisa memberi manfaat secara maksimal jika tak diiringi dengan akhlak yang mulia, sebab akhlak adalah ruh utama untuk kebermanfaatan ilmu.
Para ulama jaman dahulu terbiasa mendahulukan dan memberi porsi lebih untuk belajar akhlak daripada ilmu. Salah satunya adalah Abdullah bin Mubarak yang bertutur dalam Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro,
“Saya mempelajari adab selama tiga puluh Tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama dua puluh Tahun, dan mereka (para ulama) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu.
Begitu pentingnya akhlak dalam Islam hingga Rasulullah Muhammad menyebut dirinya diutus Allah bukan untuk tujuan lain selain untuk menyempurnakan akhlak. Dengan begitu, akhlak seharusnya tetap digunakan sebagai pijakan utama bagi setiap Muslim dalam melakukan berbagai hal, baik yang terkait dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain.
Dilihat dari fungsinya, akhlak adalah pembeda untuk pintar dan benar. Orang yang berilmu tentulah pintar, namun jika tidak melengkapi dirinya dengan akhlak, maka tak ada jaminan kepintaran yang dimilikinya mampu mengantarkan pada kebenaran.
Sekalipun orang tersebut mengaku sebagai ulama, namun jika akhlak yang ditampilkan tercela, maka tak ada kebenaran yang bersemayam di setiap wejangan yang disampaikan.
Akhlak juga berfungsi sebagai benteng yang melindungi orang berilmu dari berbagai macam godaan. Sebab, orang berilmu tak akan pernah lepas dari godaan. Salah satu yang paling sering menghantui adalah kesombongan. Orang yang berilmu cenderung mengira dirinya sudah tahu segala, merasa kebenaran hanyalah apa yang keluar dari mulutnya.
Tanpa akhlak, orang berilmu hanya akan menjadi hantu. Yang berarti tak jelas wujud dan manfaatnya.
“Padahal akhlak itu sangatlah sederhana, berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang dapat menyakitinya (baik fisik maupun hati) dan menahan diri ketika disakiti” (Madarijus Salikin II/318-319).
Karenanya, selalu lengkapi diri kita dengan akhlak, sebab hanya dengan cara itu, ilmu yang kita miliki dapat memberi kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain.
Jadikan pula akhlak sebagai ukuran dalam menilai keilmuan seseorang, jangan sampai kita terperosok dalam lubang kelam akibat salah memilih panutan. Jika ilmu adalah cahaya, maka akhlaklah penyempurnaannya.
Jadi kesimpulan yang dapat kita tarik adalah, bahwa orang yang berilmu tanpa menyempurnakan akhlaknya adalah suatu hal yang percuma. Dengan akhlak yang tidak baik ilmu kita tidak akan bermanfaat bagi orang lain. Kita hanya akan mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Padahal Allah SWT sangat membenci manusia yang memiliki sifat yang takabur atau sombong karena memiliki ilmu. Maka dari itu, kita sebagai umat Islam yang berakal hendaknya kita menyempurnakan akhlak kita agar ilmu yang kita punya tidak sia-sia dan bermanfaat bagi orang lain. Tidak masalah apabila ilmu kita masih dangkal tapi akhlak kita baik, Insya Allah , kita akan selalu dilindungi oleh Allah SWT dari segala macam fitnah, nafsu setan, maupun nafsu dari dalam diri kita sendiri.
Leave a Reply