Nilai Kehidupan Dalam Pesantren
Nilai Kehidupan Dalam Pesantren – Karakteristik pesantren dengan variasi kurikulum maupun konsep pendidikan yang diimplementasikan mewarnai bagaimana dinamika pendidikan di Indonesia. Betapapun, eksistensi pesantren yang dianggap kudet bahkan ouput pesantren mendapatkan stigma negatif di tengah-tengah masyarakat plural.
Tidak berlebihan, jika banyak kaum bersarung muncul ke permukaan seperti Gus Nadir, Gus Dhofir Zuhry Malang, Gus Baha, Gus Muwafiq, dan Gus Yusuf Chudhori menepis narasi negatif yang mendarah daging bahkan susah dihilangkan di berbagai elemen masyarakat maupun di media sosial. Kehadiran pesantren yang berumur ratusan tahun menjadi saksi sejarah betapa konsistennya pesantren di Indonesia dalam mengawal, mengembangkan, dan menyebarkan nilai-nilai luhur yang sudah diimplementasikan oleh kaum bersarungan selama ini.
Nilai Kehidupan Dalam Pesantren – Salah satu peran pesantren, yaitu mencerdaskan kehidupan santri menjadi media efektif dalam mengasah serta menelaah secara kritis bagaimana turats islamiy (warisan ulama Islam). Santri dengan serius membicarakan bagaimana kitab kuning bertahan di tengah derasnya ombak modernitas, hate speech yang semakin tidak terkontrol, dan arus informasi yang begitu cepat menyebar.
Di sisi lain, pesantren sebagai salah satu model pendidikan nonformal juga berperan penting men-universalkan nilai-nilai yang terkandung dalam kitab maupun dari teladan seorang kiai maupun pengasuh pesantren.
Nilai-nilai pesantren menjadi landasan fundamental dalam melangkah dan menjaga martabat seorang santri di zaman sekarang. Banyak aspek yang menjadi sorotan santri di tengah derasnya arus teknologi maupun goncangan modernitas. Tidak heran, jika tantangan seorang santri di samping inernalisasi nilai di pesantren, juga bagaimana seorang santri mampu berdakwah di media sosial dengan ikut terlibat aktif menyebarkan konten kreatif dengan membawa ajaran Islam yang damai dan tidak keras.
Oleh karena itu, tidak aneh jika Faizin dan Farhah dalam sebuah jurnal dengan tulisan berjudul Pola Integrasi Nilai-Nilai Kepesantrenan dalam Mengimplementasikan Budaya Religi mengungkapkan nilai pesantren melikupi banyak macam.
Di antaranya adalah, pertama, kesadaran beragama. Di samping belajar tentang kajian keislaman, santri juga dituntut untuk mampu mengejawantahkan ilmu yang diperoleh pada aksentuasi kehidupan dengan mencerminkan sifat saling menghargai terhadap sebuah perbedaan. Sikap toleransi atas pemikiran agama dibuktikan dengan tidak ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Santri juga harus mencerminkan bagaimana agama Islam sangat ramah dan toleran terhadap agama lain. Inilah poin mendasar kenapa seorang santri harus mengamalkan konsep Al Wa’yu Al Diniy (kesadran beragama) yang akhir-akhir ini dibenturkan dengan nasionalisme, kebangsaan, maupun patriotisme.
Kedua, kesadaran berilmu. Adalah menjadi rahasia umum bahwa santri zaman sekarang tidak sama dengan santri zaman dahulu. Perbedaan ini salah satunya adalah zaman maupun arus teknologi semakin kencang yang menuntut santri ikut berperan menyebarkan informasi yang baik.
Semangat nasrul ilmi (menyebarkan ilmu) menjadi harga mati karena di samping landasan teologis juga tuntutan zaman untuk terus mencari ilmu tidak bisa dihindarkan. Memang benar bahwa santri idealnya memahami kajian Islam secara komprehensif an sich. Tetapi, santri tidak boleh terlena dengan keadaan zaman yang mau tidak mau memaksa santri terjun serta mengamalkan ilmu yang sudah didapatnya dengan cara yang arif-bijaksana saat bersentuhan dengan media sosial.
Tidak berlebihan jika Abuya Sayyid Alawi mengatakan bil ilmi irtafa’, bil khidmati intafa’ (dengan ilmu, manusia akan diangkat derajatnya sosial, intelektual, dan spiritual oleh Allah; dan dengan mengabdi, manusia mendapatkan ilmu bermanfaat untuk dirinya dan sekitar).
Ketiga, kesadaran bermasyarakat. Bagaimanapun kondisinya, santri-pesantren-kiai tidak akan lepas dari komunitas yang bernama masyarakat. Dari masyarakat juga, santri berkembang dan tumbuh dengan dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Santri harus paham masyarakat mempunyai karakter, adat, dan budaya tertentu. Oleh karenanya, tidak fair eksistensi santri di belantika pesantren kurang mampu menjalankan tugasnya sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah masyarakat yang plural, multicultural, dan variatif.
Keempat, kesadaran berbangsa dan bernegara. Point al wa’yu lil sya’b merupakan aspek penting yang tidak hanya bagi santri di Indonesia. Melainkan, santri seluruh dunia akan bahu membahu mencintai bangsa dan negara. Para kiai berada tepat di garis terluar mempertahankan keutuhan dan kedaulatan negara melalui pendidikan pesantren. Dari pesantren, para santri ditanamkan jiwa nasionalisme dengan pendekatan doktrinal maupun empiris dengan mengaca pada bagaimana perjuangan para santri dalam mengusir penjajahan yang terjadi di masa silam.
Kelima, kesadaran berorganisasi. Santri dan kiai tidak lupa “tragedi Hijaz” saat itu dipimpin oleh Syarif Husain yang hancur karena agitasi dari pihak luar. Bukan karena tidak berpendidikan atau tidak adanya orang hebat, tetapi penguasa Hijaz saat itu tidak meregulasikan konsep berorganisasi sehingga mudah untuk dihancurkan meskipun kuat dan kokoh dari internalnya.
Kejadian tersebut sering diulas oleh Maulana Habib Lutfi di sela-sela ceramah maupun pengajian di Kanzuz Sholawat. Tragedi Hijaz mengingatkan betapa pentingnya sebuah organisasi agar tetap kokoh dan solid dalam menyalurkan sebuah target yang ingin dicapai. Ini jelas sekali tercermin bagaimana santri, kiai, dan pesantren di Indonesia terlibat dalam sebuah organisasi.
Kelima konsep kesadaran tersebut menjadi ruh atau jiwa seorang santri dalam menjalani aksentuasi kehidupan baik pada aspek agama, bangsa, maupun negara. Oleh sebab itu, tidak heran jika santri yang biasanya memakai sarung dan baju koko sangat fasih dalam mengejewantahkan nilai-nilai pesantren seperti yang sudah dijelaskan tersebut. Pun demikian, santri mempunyai tanggung jawab moral untuk menyebarkan ajaran Islam yang damai dan penuh cinta. Wallahu A’lam.
Leave a Reply