Peran Santri Dalam Kemerdekaan
Peran Santri Dalam Kemerdekaan – Peran ulama dan santri dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menabuh genderang jihad melawan penjajahan, tentu tidak bisa dilupakan. Bahkan dalam sejarahnya keberadaan ulama, santri di pesantren-pesantren yang ada di seluruh penjuru negeri digambarkan sebagai tembok baja bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak hanya itu, dari pesantren-pesantren itulah muncul perlawanan-perlawanan, lahir pejuang pemberani yang rela mati demi negaranya. Bahkan tak terhitung berapa juta santri yang menghibahkan nyawanya untuk mempertahankan negaranya, baik prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan.
Tak terhitung jumlah tokoh muslim nusantara ini gugur sebagai syuhada, untuk mengenang jasa para pejuang ini pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar pahlawan kepada mereka meskipun tidak sedikitpun penghargaan itu diharapkan. Diantara tokoh yang mendapatkan penghargaan itu yakni pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Kiai Haji Ahmad Dahlan, Bung Tomo dan masih banyak ulama dan tokoh Islam lainnya.
Hubungan patron-klien antara kiai-santri sangat memudahkan mobilisasi anti penjajahan di kalangan santri
pesantren dan para santri menjadi ujung tombak dalam mempertahakan kemerdakaan. Fakta historis munculnya fatwa dan gerakan jihad melawan penjajah di berbagai wilayah Indonesia, yang dikeluarkan dan dipimpin langsung oleh para ulama seperti Syekh Yusuf al Makassari, Kiai Abas Buntet, dan Kiai Hasyim Asy’ari.
Para ulama tersebut tercatat telah beberapa kali dipenjara dan diasingkan penjajah Belanda untuk meredam perlawanan kaum santri,
Resolusi Jihad
Resolusi jihad bermula saat Presiden Soekarno bertanya kepada KH Hasyim Asyari, tentang hukum dalam agama Islam membela tanah air dari ancaman penjajah. Tetapi pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab oleh KH Hasyim Asyari, melainkan meminta masukan kepada para kiai.
Tepat pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah sebagai perang suci alias jihad, atau saat ini populer dengan istilah resolusi jihad.
Resolusi Jihad itu dilatar belakangi adanya pertempuran dahsyat antara pasukan Inggris dengan arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945. Dalam sejarahnya, sebelum membacakan pidato yang melegenda dan membakar semangat arek-arek Suroboyo, Bung Tomo terlebih dahulu menghadap Kiai Hasyim Asyari, ia meminta izin untuk membacakan pidatonya yang merupakan resolusi jihad yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama NU.
Seminggu setelah resolusi jihad dikumandangkan, tepatnya pada tanggal 10 November 1945, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya melawan tentara Inggris yang bersenjata canggih, tank dan ribuan jet tempur yang membuat langit kota Surabaya mendung di siang hari bahkan hujan rudal saat itu, dengan hanya bersenjatakan bambu runcing tanpa rasa takut, pasukan santri dan arek-arek Suroboyo ini melawan. Resolusi jihad itu membuat pertempuran yang berlangsung selama 3 minggu itu dimenangkan oleh Santri, tetapi jutaan santri wafat dalam pertempuran itu.
Sejarah perjuangan ulama dan santri dalam melawan penjajahan belanda tidak hanya dalam peristiwa itu, tetapi jutaan kisah mewarnai perjalanan bangsa besar ini.
Tugas ulama dan santri kedepan semakin tak mudah, ditengah perkembangan dan kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Maka santri harus mampu memainkan perannya dan menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.
Leave a Reply